Monday, May 27, 2013

Tentang Waisak

Sekali-sekali pengen juga nulis serius, tentang isu dalam negeri yang lagi marak, dalam bahasa sendiri.

Sejujurnya, kejadian Waisak 2013 sangat menyedihkan untuk saya pribadi. Jadi yang saya tulis ini sangat sangat penuh dengan pendapat subjektif. Mungkin akan ada yang sependapat, tapi pasti ada yang tidak. Bukan masalah.
---

Foto yang banyak tersebar di media sosial tentang perayaan Waisak 2013 di Candi Borobudur kemarin.  Perayaan ini memang terbuka untuk dikunjungi wisatawan, namun jumlah pengunjung yang melebihi perkiraan konon mengusik jalannya ibadah.
Iya betul, perayaan Waisak menimbulkan banyak pro & kontra. Intinya, bikin heboh. Beberapa teman saya juga menyempatkan diri untuk pergi ke sana. Perjalanan yang pasti menyenangkan untuk mereka, menurut saya. Perjalanan pelesir apapun, pasti memberi kesan positif pada para pelakunya.

Tapi sampai mengusik ibadah sekelompok orang? Bertingkah laku rusuh dan usil ketika ada yang sedang memanjatkan doa? Ikut melakukan ritual ibadah agama lain tanpa memahami esensinya, sehingga terkesan mengolok-olok?

Saya rasa tidak pernah ada manusia yang nuraninya membenarkan perlakuan seperti itu. Salah seorang teman saya yang berkesempatan pergi ke Borobudur pun mengaku, menyaksikan hal-hal tersebut membuat dia ingin memasukkan para turis usil itu ke neraka, dan dia tidak menganut agama Buddha.

Turis-turis usil itu salah?

Ya, mereka, secara sadar ataupun tidak, telah mengganggu ke-khusyu'-an ibadah sekelompok orang. Mungkin mereka akan beralasan bosan, karena menunggu lampion diterbangkan terlalu lama, dalam hujan & penuh sesak pula, jadi tergerak untuk usil. Ya akui saja, rasa bosan memang mudah mengusik naluri jahil untuk muncul. Alasan yang terlalu sepele? Mungkin juga. Tapi kalau berada di posisi mereka saat itu, apakah kita bisa menahan diri dari melakukan perbuatan yang sama?

Lalu sebagian orang mulai menyalahkan kebijakan dan regulasi. 'Sudah tahu ibadah, mengapa dibuka untuk umum? Itu resikonya.' Intinya demikian mungkin, secara singkat. Lalu muncullah perdebatan siapa yang salah, siapa yang tidak mau disalahkan. Banyak kepentingan, alasan, dan pembenaran. Tapi apa yang sebenarnya terjadi?

Membludaknya jumlah turis pada perayaan Waisak tahun ini, menurut saya adalah fenomena. Secara kasat mata, terlihat sebagai suatu fenomena yang positif, anak-anak muda di kota besar mulai tergerak untuk menghargai dan ingin mengalami keindahan budaya (dalam hal ini agama) yang belum dipahaminya. Bukankah indah?

Lantas mengapa hasil akhirnya… 'begitu'?

Karena apa yang tidak terlihat secara kasat mata, tentu.

Para turis lokal itu sebagian besar berasal dari kota besar. Jakarta dan sekitarnya, katanya. Kota-kota yang urban, modern, terpelajar, katanya. Penuh gedung-gedung tinggi dan dihuni para eksekutif kaya raya, katanya. Metropolitan, katanya. Dipenuhi pusat perbelanjaan dan hiburan masa kini, katanya.

Namun di sisi lain, tingkat kebutuhan akan rekreasinya juga meningkat. Karena stres, katanya. Penyakit orang kota, katanya.

Silakan koreksi kalau pendapat saya dianggap salah, tapi tidakkah fenomena 'untuk menghibur diri sendiri, maka mengusik ketentraman beribadah orang lain' adalah wujud paling nyata dari gejala stres?

Sebagian besar turis itu pergi ke Borobudur untuk menyaksikan keindahan. Keindahan candi dan kesakralan ibadah, yang disimbolkan oleh lampion-lampion yang diterbangkan. Mereka haus akan keindahan. Haus akan budaya dan perasaan emosional yang timbul karena menyaksikan ritual keagamaan. Haus akan stimulus untuk menyentuh hatinya, untuk merasa terhibur.

Tidakkah ini menyedihkan?

Tidakkah ada yang merasa sudah begitu terbengkalainya nilai-nilai budaya Indonesia di kota-kota besar, sampai para penghuninya harus menyemuti satu sudut kecil Borobudur hanya untuk merasakan sensasi keindahan budayanya sendiri?

Menurut saya, ini adalah akibat dari sebab-sebab yang sudah terpupuk menahun. Pembangunan kota besar yang semakin jauh dari perikemanusiaan, kurang menghargai budaya sebagai kepribadian bangsa sendiri, kepribadian diri sendiri.

Andaikan di kota-kota besar ada pusat ibadah agama Buddha yang terawat dan terperhatikan, yang perayaan hari besarnya dikemas dengan sama indahnya, tentu mereka tidak perlu berkata 'Eh, pas Waisak ke Borobudur yuk! Keren banget nanti bisa foto-foto background-nya lampion diterbangin!'

Bagaimanapun kejinya, para turis itu juga manusia. Bentuk perilakunya adalah cermin kepribadiannya. Tentu, aksi dalam ketidaksabarannya membuat gerah untuk disaksikan. Tapi bisa saja itu cerminan betapa mereka sudah begitu lama tidak terpuaskan kebutuhannya akan keindahan. 


Bersyukurlah kalian, yang masih berpikir sederhana bahwa kehidupan di kota besar begitu keren, modern. Karena kalau ada hal yang terlihat jelas dari fenomena ini, itu adalah betapa kami, yang tinggal berdampingan dengan ratusan gedung ini, begitu haus untuk memiliki pemikiran sesederhana itu.

3 comments:

  1. Iya si, saya jd sedih sama waisak. Pertama ikut waisak 2010 karena penasaran, bahkan saya nggak ngerti akn ada pelepasan lampion,jadwal kegiatannya juga nggak tau, saya baru tau juga dari ibu2 yang punya penginapan. Mungkin 2010 sudah terbilang ramai kalau pernah ngikut waisak tahun2 sebelumnya, tapi saat itu saya bermodal kartu pers (setau saya hanya yg punya kartu pers dan mendaftar ke panitia orang luar yang boleh masuk) saya bisa ikut ritual2nya, saya ikut merasakan kekhusyukan ibadah, bocah2 piyik yg baru belajar motret kaya saya juga masih sedikit. Saya pake celana jins, sweater abu corak ungu, dan itu kata temen saya kostumnya 'terlalu gaul' karena yg lain berkostum hitam. 2012 saya kesana lagi, jadi makin sangat ramai sekali, akses masuk juga gampang. 2013 saya nggak kesana, tapi jadi ngrasa sedih denger2 cerita2 tentang waisak taun ini. Ah semoga saja taun besok bisa lebih baik lagi :( *duh kok saya curhat panjang lebar si ahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Beruntung sekali bisa memperkaya pengalaman datang Waisak di Borobudur sampai 2x :) Waisaknya emang bikin miris, tapi saya lebih sedih sama kenyataan wisatawan lokal yang nggak menghargai kekayaannya sendiri :(

      Delete
    2. Dulu pers dikasih waktu 10 menit buat foto biksu (sebelum berdoa) sepuasnya, jadi bisa motret biksunya dg jarak 1m, tp habis itu ketika mereka berdoa pers ga boleh ambil foto melebihi batas yg dibuat panitia, kebanyakan mereka tertib, berdiri anteng. Taun kemarin udh banyak yg motret ga pake aturan, sayanya jadi mending keluar jalan2 sendiri krn emg rame bgt fotografer2 itu.. Dan kl liat foto dedek2 yg postingan itu udh kelewat banget yah pake bajunya, ah anak muda yah yg darahnya masih bergejolak. Ah sudahlah, nice share btw :D

      Delete